Ike Revita, Dosen Prodi Magister Linguistik FIB UNAND

Oleh : Ike Revita, Dosen Prodi Magister Linguistik FIB UNAND)


Aktual7News.Com | Padang - PERUNDUNGAN verbal mungkin tak meninggalkan bekas fisik. Namun luka di hati bisa bertahan seumur hidup. Bagi siswa SMP dan SMA, awal tahun ajaran baru dipenuhi dengan optimisme dan semangat. Di balik seragam baru dan buku pelajaran yang belum dibersihkan, ada dinamika sosial yang dapat menjadi tantangan tersendiri. Pelecehan adalah salah satunya. Perundungan verbal adalah salah satu jenis bullying yang sering terabaikan tetapi sangat berbahaya.

Mengingat dampaknya yang signifikan pada perkembangan akademik dan psikologis siswa, sebagai orang tua, pengamat dan peneliti bahasa, serta peneliti kekerasan, saya merasa penting untuk menyampaikan pendapat ini. Hinduja, S., & Patchin, J. W. (2009) dalam bukunya berjudul Bullying Beyond the Schoolyard: Preventing and Responding to Cyberbullying menyebutkan bahwa perundungan verbal atau verbal bullying adalah segala bentuk perilaku yang menyakiti dengan kata-kata.

Perilaku ini dapat mencakup ejekan, hinaan, gosip, dan komentar yang kasar atau merendahkan kepada seseorang. Perundungan verbal mungkin tidak meninggalkan luka fisik, tetapi akibatnya bisa sangat mendalam dan berbekas lama (Revita, 2014). Dalam Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak disebutan bahwa perundungan verbal termasuk dalam kekerasan. Bahkan dalam pasal 80 dijelaskan perundungan verbal ini termasuk dalam pelanggaran pidana.

Serangan atau perundungan verbal ini sangat mungkin terjadi pada siswa baru, terutama pada awal tahun ajaran, saat mereka mencoba menyesuaikan diri dengan teman-teman

dan lingkungan baru. Selama masa transisi ini, siswa biasanya mencoba menemukan tempat di antara teman sebaya mereka. Mereka berusaha untuk diakui dan diterima. Akan tetapi, dinamika kelompok sering membuat beberapa siswa menjadi sasaran perundungan verbal. Seorang siswa baru yang pendiam dan pemalu, contohnya, mungkin menjadi sasaran kritik dan penghinaan hanya karena dianggap berbeda.

Siswa yang mencoba menyesuaikan diri dengan menjadi lebih menonjol atau berbeda juga dapat mendapat kritik negatif dari teman-teman mereka. Ada juga siswa yang secara fisik berbeda dengan teman-teman kebanyakan. Apakah karena postur tubuh yang tinggi, besar, pendek, atau kecil, juga dapat menjadi sasaran perundungan. Dampak perundungan pada siswa di sekolah tidak boleh dianggap remeh.

Secara psikologis, siswa yang menjadi korban dapat mengalami penurunan rasa percaya diri (Smith & Sharp, 1994), kecemasan, depresi, dan bahkan keinginan untuk mengisolasi diri dari lingkungan sosial (Espelage & Swearer, 2004). Secara akademis, mereka juga dapat kehilangan keinginan untuk belajar, mengalami penurunan prestasi (Revita & Triana, 2014a), dan bahkan mungkin meninggalkan sekolah karena merasa tidak aman atau nyaman. Dalam jangka panjang, trauma perundungan verbal dapat berdampak negatif pada kehidupan mereka saat mereka dewasa.

Ini adalah pekerjaan rumah besar bagi pendidik, khususnya di ranah pendidikan menengah dan atas. Sebagai pendidik, seyogyanya sekolah tentunya harus mampu menciptakan tempat yang aman dan mendukung bagi semua siswa. Untuk itu, pihak sekolah ada baiknya memperhatikan beberapa hal. Misalnya adalah dengan menyadari adanya perudungan verbal dan tidak menganggapnya sepele. Diawalai dengan sikap terbuka dan membuka diri bahwa tindakan perundungan itu ada dan mungkin berada di sekitar kita.

Perilaku ini sering terjadi di tempat yang tidak diawasi guru, seperti saat istirahat, di kantin, atau di media sosial. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk proaktif mengamati dan mengidentifikasi gejala perundungan verbal. Selanjutnya adalah membangun budaya sekolah yang menghormati dan menghargai keragaman. Pendidikan karakter, yang menekankan empati, toleransi, dan kemampuan berkomunikasi secara positif, harus menjadi komponen utama dari kurikulum. Sangat penting untuk memberi tahu siswa tentang efek negatif perundungan, baik bagi pelaku maupun korban.

Siswa harus memahami bahwa setiap perkataan mereka dapat menyakiti atau membantu orang lain. Yang tidak kalah penting adalah membuat sistem yang kuat yang membantu korban perundungan. Siswa harus menyadari bahwa ada orang di sekitar mereka yang siap membantu dan bahwa mereka tidak sendirian. Untuk mendukung siswa yang mengalami perundungan, konselor sekolah, guru, dan orang tua harus bekerja sama. Selain itu, penting untuk memiliki prosedur pelaporan yang mudah dan aman sehingga siswa merasa nyaman untuk melaporkan kejadian pelecehan tanpa khawatir akan akibatnya.

Tentu saja untuk membangun sistem ini, perlu dilibatkan seluruh komunitas sekolah dalam upaya mengatasi perundungan verbal. Ini termasuk melibatkan orang tua dalam kegiatan sekolah dan mengadakan workshop atau seminar tentang masalah ini. Dengan melibatkan semua orang, kita bisa menciptakan kesadaran yang lebih besar dan solidaritas dalam melawan perundungan. Jadi, saat tahun ajaran baru dimulai, sangatlah perlu bagi pihak sekolah untuk membuat tempat menuntut ilmu dan jembatan menggapai masa depan menjadi tempat yang aman dan menyenangkan bagi semua siswa.

Meskipun perundungan berbal tidak terlihat, efeknya sangat nyata. Sebagai pendidik, sudah pasti ada tanggung jawab penting yang dipikul untuk mencegah dan mengatasi perundungan ini. Kita dapat membantu siswa mengembangkan rasa percaya diri, kemandirian, dan semangat belajar yang tinggi dengan mengambil tindakan yang tepat. Kita harus memulai tahun ajaran baru dengan komitmen untuk menjaga dan mendukung semua siswa agar mereka dapat berkembang dan tumbuh dalam lingkungan yang positif dan ramah terhadap perbedaan. (Ike Revita, Dosen Prodi Magister Linguistik FIB UNAND)